MALAM
pertama akan selalu memiliki arti khusus bagi setiap pasangan suami
istri. Tentu, ini karena untuk pertama kalinya laki-laki dan perempuan
yang baru diikat dalam tali pernikahan bertemu dalam satu ranjang
pelaminan. Pertemuan pertama ini merupakan peristiwa penting dalam
rangkaian ritual pernikahan dan dapat mempengaruhi secara psikologis
terhadap perjalanan kehidupan rumah tangga selanjutnya.
Setiap
pasangan pasti memiliki pengalaman yang berbeda dengan malam
pertamanya. Sebuah pengalaman yang tidak menyenangkan bagi pihak suami
atau istri di malam pertamanya boleh jadi akan mempengaruhi perjalanan
rumah tangga mereka. Dua kisah berikut ini bukan rekaan melainkan kisah
sebenarnya dengan nama yang disamarkan. Ibu Lenny mengalami kekecewaan
di malam pertamanya karena sang suami menurutnya cenderung kasar dalam
memulai hubungan suami istri (jima’) sedangkan dirinya menyukai kelemah
lembutan. Kejadian ini terus membekas dan mempengaruhi ibu Lenny
sehingga setiap kali melakukan jima’ dengan suaminya ia sama sekali
tidak dapat menikmati dan selalu merasa kesakitan. Di sisi lain ia juga
tidak mampu berterus terang kepada suaminya mengenai keadaan ini, dan
akibatnya hingga memiliki tiga orang anak ia merasa belum dapat
mencintai suaminya!
Lain
lagi pengalaman Bapak Danu yang terus menyimpan kekecewaan terhadap
istrinya karena tidak menjumpai adanya darah di malam pertama dan karena
itu ia menduga istrinya sudah tidak perawan lagi. Bapak Danu merasa
dibohongi, karena istrinya tidak berterus terang tentang keadaannya
sebelum mereka menikah, sedangkan untuk bertanya ia khawatir istrinya
tersinggung. Dan yang terjadi akhirnya hingga delapan tahun usia
pernikahan mereka Bapak Danu merasa tidak dapat mencintai istrinya.
Kita
boleh saja mengomentari dua kejadian diatas dengan menyalahkan Ibu
Lenny atau Bapak Danu, tetapi kenyataannya mereka tidak bahagia dalam
rumah tangga mereka karena kecewa di malam pertama!
Islam dan Malam Pertama
Malam
Pertama merupakan salah satu rangkaian ritual pernikahan yang mendapat
perhatian dalam Islam. Nabi kita yang mulia mengajarkan apa yang
seharusnya dilakukan pasangan pengantin pada malam pertamanya agar semua
aktifitas bernilai ibadah di sisi Allah SWT. Di antara tuntunan beliau
SAW adalah:
1. Shalat Dua Raka’at Ketika Masuk Menemui Istri.
Setelah
acara walimah/resepsi selesai dan suasana sudah tenang, suami akan
masuk ke kamar pengantin untuk menemui istrinya. Pada saat itu
disunnahkan bagi kedua mempelai melaksanakan shalat dua raka’at.
2. Membaca Do’a bagi Mempelai Laki-laki.
Setelah
selesai melaksanakan shalat, disunnahkan bagi mempelai laki-laki untuk
membaca do’a sebagaimana sabda Rasulullah SAW : “Jika salah seorang kamu
menikahi perempuan, maka ia hendaklah membaca do’a :
‘Allahumma inni as aluka khairaha wa khaira ma jabaltaha alaihi wa a’udzubika min syarriha wa min syarri ma jabaltaha alaihi’.
Ya
Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu kebaikannya dan kebaikan yang
telah Engkau adakan untuknya. Dan aku berlindung kepada-Mu dari
keburukannya dan dari keburukan yang Engkau adakan untuknya. (HR Abu
Dawud)
3. Mencairkan suasana dengan saling berdialog.
Jika
setelah itu suasana masih kaku, biasanya bagi istri, sebaiknya suami
tidak tergesa-gesa dengan langsung melakukan jima’. Simaklah kisah malam
pertama Syaikh Asy-Sya’bi, seorang tabi’in terkenal yang menikahi
seorang perempuan dari Bani Tamim bernama Zainab binti Hudhair. Syaikh
Asy-Sya’bi menuturkan sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Jauzi dalam
kitabnya Ahkamun Nisaa': “Setelah selesai walimah dan suasana kembali
tenang, aku masuk menemuinya dan berkata, ‘Sesungguhnya termasuk sunnah
mengerjakan shalat dua raka’at. Lalu aku berdiri melakukannya dan
memohon kepada Allah agar melimpahkan kebaikan di malam ini. Ketika aku
berpaling ke kanan mengucapkan salam, aku melihatnya ikut shalat di
belakangku. Kemudian ketika berpaling ke kiri, aku sudah melihatnya
sudah berada di tempat tidurnya. Akupun mengulurkan tanganku, tetapi ia
berkata, ‘Sabarlah, sesungguhnya aku adalah perempuan yang asing bagimu.
Demi Allah, kini aku sedang meniti jalan yang paling berat yang
sebelumnya belum pernah ku alami. Engkau adalah laki-laki asing, aku
belum mengenal perangaimu, maka ceritakanlah hal-hal yang engkau sukai
untuk aku kerjakan dan hal-hal yang engkau benci untuk aku hindari.
Akupun menjawab, ‘Aku suka ini dan ini, aku benci ini dan itu,…
sementara ia mendengarkanku dengan penuh perhatian. Akhirnya malam yang
paling indah itupun aku raih.”
4. Melakukan Jima’
Dalam
melakukan jima’ pertama ini hendaknya suami tidak tergesa-gesa.
Keduanya hendaknya memperlakukan pasangannya dengan lemah lembut.
Interaksi yang lemah lembut dan penuh kasih saying akan memudahkan
mereka melakukan jima’ pertama ini. Sebaiknya keduanya mempelajari
terlebih dahulu adab-adab dan tata cara jima’ yang diajarkan Rasulullah
SAW. Sudah banyak buku karya ulama yang membahas tema ini, diantaranya
Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin. Dalam salah satu
pembahasannya beliau menulis tentang adab-adab jima’ sebagai berikut:
a.
Membaca Basmallah dan berdo’a sebelum melakukan jima’. “Dari Abdullah
bin Abbas ra, Rasulullah SAW bersabda: “Jika salah seorang kamu ingin
berjima’ dengan istrinya, hendaklah ia membaca: ‘Bismillah, Allahumma
jannibnaa asy-syaithana wa jannibi asy-syaithana ma rozaqtanaa’ (Dengan
nama Allah, Yaa Allah jauhkanlah syetan dari kami dan jauhkanlah syetan
dari apa yang Engkau rizqikan kepada kami). Maka seandainya ditakdirkan
dari hubungan itu seorang anak, anak itu tidak akan diganggu syetan
selama-lamanya.” (HR Bukhari dan Muslim)
b.
Melakukan pemanasan (pengantar) jima’. Pengantar jima’ dimaksudkan agar
suami tidak mendatangi istrinya dalam kondisi istri tidak siap. Pada
hakikatnya perempuan menginginkan dari laki-laki seperti laki-laki
menginginkannya dari perempuan, hanya saja kesiapan perempuan untuk
melakukan jima’ tidak muncul setiap saat sebagaimana laki-laki. Beberapa
pengantar jima’ misalnya: saling mencumbu dengan melakukan hubungan
ringan sebelum jima’ dengan berciuman, berpelukan dan perbuatan yang
lain yang kesemuanya dimaksudkan untuk memberi rangsangan dan
membangkitkan gairah untuk melakukan jima’. Dengan melakukan pengantar
jima’ ini diharapkan keduanya dalam kondisi benar-benar siap untuk
berjima’ sehingga keduanya dapat meraih kepuasan.
c.
Melakukan jima’ tanpa tergesa-gesa. Lakukanlah jima’ dengan kelembutan
dan penuh kasih sayang.Jika dalam melakukan jima’ pertama ini ternyata
masih terdapat kesulitan, jangan tergesa-gesa untuk menyelesaikannya
pada saat itu juga. Bersabarlah, mungkin akan mudah setelah berlangsung
beberapa hari. Dan apabila suami mencapai kepuasan lebih dulu, hendaknya
tidak tergesa-gesa beranjak dari istrinya, tunggulah sampai istri dapat
meraih kepuasan. [sa/islampos/eramuslim/berbagaisumber]