“ Goblok kamu ya…” Kata Suamiku sambil melemparkan buku rapor sekolah
Doni. Kulihat suamiku berdiri dari tempat duduknya dan kemudian dia
menarik kuping Doni dengan keras. Doni meringis. Tak berapa lama Suamiku
pergi kekamar dan keluar kembali membawa penepuk nyamuk. Dengan garang
suamiku memukul Doni berkali kali dengan penepuk nyamuk itu. Penepuk
nyamuk itu diarahkan kekaki, kemudian ke punggung dan terus , terus.
Doni menangis “ Ampun, ayah ..ampun ayah..” Katanya dengan suara terisak
isak. Wajahnya memancarkan rasa takut. Dia tidak meraung. Doni ku tegar
dengan siksaan itu. Tapi matanya memandangku. Dia membutuhkan
perlindunganku. Tapi aku tak sanggup karena aku tahu betul sifat
suamiku.
“Lihat adik adikmu. Mereka semua pintar pintar sekolah. Mereka rajin
belajar. Ini kamu anak tertua malah malas dan tolol Mau jadi apa kamu
nanti ?. Mau jadi beban adik adik kamu ya…he “ Kata suamiku dengan suara
terengah engah kelelahan memukul Doni. Suamiku terduduk dikorsi.
Matanya kosong memandang kearah Doni dan kemudian melirik kearah ku “
Kamu ajarin dia. Aku tidak mau lagi lihat lapor sekolahnya buruk. Dengar
itu. “ Kata suamiku kepadaku sambil berdiri dan masuk kekamar tidur.
Kupeluk Doni. Matanya memudar. Aku tahu dengan nilai lapor buruk dan
tidak naik kelas saja dia sudah malu apalagi di maki maki dan dimarahi
didepan adik adiknya. Dia malu sebagai anak tertua. Kembali matanya
memandangku. Kulihat dia butuh dukunganku. Kupeluk Doni dengan erat “
Anak bunda, tidak tolol. Anak bunda pintar kok. Besok ya rajin ya
belajarnya”
“ Doni udah belajar sungguh sungguh, bunda, Bunda kan lihat sendiri.
Tapi Doni memang engga pintar seperti Ruli dan Rini. Kenapa ya Bunda”
Wajah lugunya membuatku terenyuh.. Aku menangis “ Doni, pintar kok. Doni
kan anak ayah. Ayah Doni pintar tentu Doni juga pintar. “
“ Doni bukan anak ayah.” Katanya dengan mata tertunduk “ Doni telah mengecewakan Ayah, ya bunda “
Malamnya , adiknya Ruli yang sekamar dengannya membangunkan kami karena
ketakutan melihat Doni menggigau terus. Aku dan suamiku berhamburan
kekamar Doni. Kurasakan badannya panas.Kupeluk Doni dengan sekuat jiwaku
untuk menenangkannya. Matanya melotot kearah kosong. Kurasakan badannya
panas. Segera kukompres kepalanya dan suamiku segera menghubungi dokter
keluarga. Doni tak lepas dari pelukanku “ Anak bunda, buah hati bunda,
kenapa sayang. Ini bunda,..” Kataku sambil terus membelai kepalanya. Tak
berapa lama matanya mulai redup dan terkulai. Dia mulai sadar. Doni
membalas pelukanku. ‘ Bunda, temani Doni tidur ya." Katanya sayup sayup.
Suamiku hanya menghelap nafas. Aku tahu suamiku merasa bersalah karena
kejadian siang tadi.
Doni adalah putra tertua kami. Dia lahir memang ketika keadaan keluarga
kami sadang sulit. Suamiku ketika itu masih kuliah dan bekerja serabutan
untuk membiayai kuliah dan rumah tangga. Ketika itulah aku hamil Doni.
Mungkin karena kurang gizi selama kehamilan tidak membuat janinku tumbuh
dengan sempurna. Kemudian , ketika Doni lahir kehidupan kami masih
sangat sederhana. Masa balita Doni pun tidak sebaik anak anak lain.
Diapun kurang gizi. Tapi ketika usianya dua tahun, kehidupan kami mulai
membaik seiring usainya kuliah suamiku dan mendapatkan karir yang bagus
di BUMN. Setelah itu aku kembali hamil dan Ruli lahir., juga laki laki
dan dua tahu setelah itu, Rini lahir, adik perempuannya. Kedua putra
putriku yang lahir setelah Doni mendapatkan lingkungan yang baik dan
gizi yang baik pula. Makanya mereka disekolah pintar pintar. Makanya aku
tahu betul bahwa kemajuan generasi ditentukan oleh ketersediaan gixi
yang cukup dan lingkungan yang baik.
Tapi keadaan ini tidak pernah mau diterima oleh Suamiku. Dia punya
standard yang tinggi terhadap anak anaknya. Dia ingin semua anaknya
seperti dia. Pintar dan cerdas. “ Masalah Doni bukannya dia tolol, Tapi
dia malas. Itu saja. “ Kata suamiku berkali kali. Seakan dia ingin
menepis tesis tentang ketersediaan gizi sebagai pendukung anak jadi
cerdas. “ Aku ini dari keluarga miskin. Manapula aku ada gizi cukup.
Mana pula orang tuaku ngerti soal gixi. Tapi nyatanya aku berhasil. “
Aku tak bisa berkata banyak untuk mempertahankan tesisku itu.
Seminggu setelah itu, suamiku memutuskan untuk mengirim Doni kepesantren. AKu tersentak.
“ Apa alasan Mas mengirim Doni ke Pondok Pesantren “
“ Biar dia bisa dididik dengan benar”
“ Apakah dirumah dia tidak mendapatkan itu”
“ Ini sudah keputusanku, Titik.
“ tapi kenapa , Mas” AKu berusaha ingin tahu alasan dibalik itu.
Suamiku hanya diam. Aku tahu alasannya.Dia tidak ingin ada pengaruh
buruk kepada kedua putra putri kami. Dia malu dengan tidak naik kelasnya
Doni. Suamiku ingin memisahkan Doni dari adik adiknya agar jelas mana
yang bisa diandalkannya dan mana yang harus dibuangnya. Mungkinkah itu
alasannya. Bagaimanapun , bagiku Doni akan tetap putraku dan aku akan
selalu ada untuknya. Aku tak berdaya. Suamiku terlalu pintar bila diajak
berdebat.
Ketika Doni mengetahui dia akan dikirim ke Pondok Pesantren, dia
memandangku. Dia nanpak bingung. Dia terlalu dekat denganku dan tak
ingin berpisah dariku.
Dia peluk aku “ Doni engga mau jauh jauh dari bunda” Katanya.
Tapi seketika itu juga suamiku membentaknya “ Kamu ini laki laki. TIdak
boleh cengeng. Tidak boleh hidup dibawah ketika ibumu. Ngerti. Kamu
harus ikut kata Ayah. Besok Ayah akan urus kepindahan kamu ke Pondok
Pesantren. “
Setelah Doni berada di Pondok Pesantren setiap hari aku merindukan buah
hatiku. Tapi suamiku nampak tidak peduli. “ Kamu tidak boleh
mengunjunginya di pondok. Dia harus diajarkan mandiri. Tunggu saja kalau
liburan dia akan pulang” Kata suamiku tegas seakan membaca kerinduanku
untuk mengunjungi Doni.
Tak terasa Doni kini sudah kelas 3 Madrasa Aliyah atau setingkat SMU.
Ruli kelas 1 SMU dan Rini kelas 2 SLP. Suamiku tidak pernah bertanya
soal Raport sekolahnya. Tapi aku tahu raport sekolahnya tak begitu bagus
tapi juga tidak begitu buruk. Bila liburan Doni pulang kerumah, Doni
lebih banyak diam. Dia makan tak pernah berlebihan dan tak pernah
bersuara selagi makan sementara adiknya bercerita banyak soal disekolah
dan suamiku menanggapi dengan tangkas untuk mencerahkan. Walau dia satu
kamar dengan adiknya namun kamar itu selalu dibersihkannya setelah
bangun tidur. Tengah malam dia bangun dan sholat tahajud dan berzikir
sampai sholat subuh.
Ku purhatikan tahun demi tahu perubahan Doni setelah mondok. Dia berubah
dan berbeda dengan adik adiknya. Dia sangat mandiri dan hemat
berbicara. Setiap hendak pergi keluar rumah, dia selalu mencium tanganku
dan setelah itu memelukku. Beda sekali dengan adik adiknya yang serba
cuek dengan gaya hidup modern didikan suamiku.
Setamat Madrasa Aliyah, Doni kembali tinggal dirumah. Suamiku tidak
menyuruhnya melanjutkan ke Universitas. “ Nilai rapor dan kemampuannya
tak bisa masuk universitas. Sudahlah. Aku tidak bisa mikir soal masa
depan dia. Kalau dipaksa juga masuk universitas akan menambah beban
mentalnya. “ Demikian alasan suamiku. Aku dapat memaklumi itu. Namun
suamiku tak pernah berpikir apa yang harus diperbuat Doni setelah lulus
dari pondok. Donipun tidak pernah bertanya. Dia hanya menanti dengan
sabar.
Selama setahun setelah Doni tamat dari mondok, waktunya lebih banyak di
habiskan di Masjid. Dia terpilih sebagai ketua Remaja Islam Masjid. Doni
tidak memilih Masjid yang berada di komplek kami tapi dia memilih
masjid diperkampungan yang berada dibelakang komplek. Mungkin karena
inilah suamiku semakin kesal dengan Doni karena dia bergaul dengan orang
kebanyakan. Suamiku sangat menjaga reputasinya dan tak ingin sedikitpun
tercemar. Mungkin karena dia malu dengan cemoohan dari tetangga maka
dia kadang marah tanpa alasan yang jelas kepada Doni. Tapi Doni tetap
diam. Tak sedikitpun dia membela diri.
Suatu hari yang tak pernah kulupakan adalah ketika polisi datang
kerumahku. Polisi mencurigai Doni dan teman temannya mencuri di rumah
yang ada di komplek kami. Aku tersentak. Benarkah itu. Doni sujud dikaki
ku sambil berkata “ Doni tidak mencuri , Bunda. TIdak, Bunda percayakan
dengan Doni. Kami memang sering menghabiskan malam di masjid tapi tidak
pernah keluar untuk mencuri.” Aku meraung ketika Doni dibawa kekantor
polisi. Suamiku dengan segala daya dan upaya membela Doni. Alhamdulilah
Doni dan teman temannya terbebaskan dari tuntutan itu. Karena memang
tidak ada bukti sama sekali. Mungkin ini akibat kekesalan penghuni
komplek oleh ulah Doni dan kawan kawan yang selalu berzikir dimalam hari
dan menggangu ketenangan tidur.
Tapi akibat kejadian itu , suamiku mengusir Doni dari rumah. Doni tidak
protes. Dia hanya diam dan menerima keputusan itu. Sebelum pergi dia
rangkul aku” Bunda , Maafkanku. Doni belum bisa berbuat apapun untuk
membahagiakan bunda dan Ayah. Maafkan Doni “ Pesanya. Diapun memandang
adiknya satu satu. Dia peluk mereka satu persatu “ Jaga bunda ya.
Mulailah sholat dan jangan tinggalkan sholat. Kalian sudah besar .”
demikian pesan Doni. Suamiku nampak tegar dengan sikapnya untuk mengusir
DOni dari rumah.
“ Mas, Dimana Doni akan tinggal. “ Kataku dengan batas kekuatan terakhirku membela Doni.
“ Itu bukan urusanku. Dia sudah dewasa. Dia harus belajar bertanggung jawab dengan hidupnya sendiri.
***
Tak terasa sudah enam tahun Doni pergi dari Rumah. Setiap bulan dia
selalu mengirim surat kepadaku. Dari suratnya kutahu Doni berpindah
pindah kota. Pernah di Bandung, Jakarta, Surabaya dan tiga tahun lalu
dia berangkat ke Luar negeri. Bila membayangkan masa kanak kanaknya
kadang aku menangis. Aku merindukan putra sulungku. Setiap hari kami
menikmati fasilitas hidup yang berkecukupan. Ruli kuliah dengan
kendaraan bagus dan ATM yang berisi penuh. Rinipun sama. Karir suamiku
semakin tinggi. Lingkungan social kami semakin berkelas. Tapi, satu
putra kami pergi dari kami. Entah bagaimana kehidupannya. Apakah dia
lapar. Apakah dia kebasahan ketika hujan karena tidak ada tempat
bernaung. Namun dari surat Doni , aku tahu dia baik baik saja. Dia
selalu menitipkan pesan kepada kami, “ Jangan tinggalkan sholat.
Dekatlah kepada Allah maka Allah akan menjaga kita siang dan malam. “
***
Prahara datang kepada keluarga kami. Suamiku tersangkut kasus Korupsi.
Selama proses pemeriksaan itu suamiku tidak dibenarkan masuk kantor. Dia
dinonaktifkan. Selama proses itupula suamiku nampak murung.
Kesehatannya mulai terganggu. Suamiku mengidap hipertensii. Dan
puncaknya , adalah ketika Polisi menjemput suamiku di rumah. Suamiku
terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Rumah dan semua harta yang
selama ini dikumpulkan disita oleh negara. Media maassa memberitakan itu
setiap hari. Reputasi yang selalu dijaga oleh suamiku selama ini
ternyata dengan mudah hancur berkeping keping. Harta yang dikumpul,
sirna seketika. Kami sekeluarga menjadi pesakitan. Ruli malas untuk
terus keliah karena malu dengan teman temannya. Rini juga sama yang tak
ingin terus kuliah.
Kini suamiku dipenjara dan anak anak jadi bebanku dirumah kontrakan. Ya
walau mereka sudah dewasa namun mereka menjadi bebanku. Mereka tak mampu
untuk menolongku. Baru kutahu bahwa selama ini kemanjaan yang diberikan
oleh suamiku telah membuat mereka lemah untuk survival dengan segala
kekurangan. Maka jadilah mereka bebanku ditengah prahara kehidupan kami.
Pada saat inilah aku sangat merindukan putra sulungku. Ditengah aku
sangat merindukan itulah aku melihat sosok pria gagah berdiri didepan
pintu rumah.
Doniku ada didepanku dengan senyuman khasnya. Dia menghambur kedalam
pelukanku. “ Maafkan aku bunda, Aku baru sempat datang sekarang sejak
aku mendapat surat dari bunda tentang keadaan ayah. “ katanya. Dari
wajahnya kutahu dia sangat merindukanku. Rini dan Ruli juga segera
memeluk Doni. Mereka juga merindukan kakaknya. Hari itu, kami berempat
saling berpelukan untuk meyakinkan kami akan selalu bersama sama.
Kehadiran Doni dirumah telah membuat suasana menjadi lain. Dengan bekal
tabungannya selama bekerja diluar negeri, Doni membuka usaha percetakan
dan reklame. Aku tahu betul sedari kecil dia suka sekali menggambar
namun hobi ini selalu di cemoohkan oleh ayahnya. Doni mengambil alih
peran ayahnya untuk melindungi kami. Tak lebih setahu setelah itu, Ruli
kembali kuliah dan tak pernah meninggalkan sholat dan juga Rini. Setiap
maghrib dan subuh Doni menjadi imam kami sholat berjamaah dirumah.
Seusai sholat berjaman Doni tak lupa duduk bersilah dihadapan kami dan
berbicara dengan bahasa yang sangat halus , beda sekali dengan gaya
ayahnya
“ Manusia tidak dituntut untuk terhormat dihadapan manusia tapi
dihadapan Allah. Harta dunia, pangkat dan jabatan tidak bisa dijadikan
tolok ukur kehormatan. Kita harus berjalan dengan cara yang benar dan
itulah kunci meraih kebahagiaan dunia maupun akhirat. Itulah yang harus
kita perjuangkan dalam hidup agar mendapatkan kemuliaan disisi Allah. .
Dekatlah kepada Allah maka Allah akan menjaga kita. Apakah ada yang
lebih hebat menjaga kita didunia ini dibandingkan dengan Allah. “
“ Apa yang menimpa keluarga kita sekarang bukanlan azab dari Allah. Ini
karena Allah cinta kepada Ayah. Allah cinta kepada kita semua karena
kita semua punya peran hingga membuat ayah terpuruk dalam perbuatan dosa
sebagai koruptor. Allah sedang berdialog dengan kita tentang sabar dan
ikhlas, tentang hakikat kehidupan, tentang hakikat kehormatan. Kita
harus mengambil hikmah dari ini semua untuk kembali kepada Allah dalam
sesal dan taubat. Agar bila besok ajal menjemput kita, tak ada lagi yang
harus disesalkan, Karna kita sudah sangat siap untuk pulang keharibaan
Allah dengan bersih. “
Seusai Doni berbicara , aku selalu menangis. Doni yang tidak pintar
sekolah, tapi Allah mengajarinya untuk mengetahui rahasia terdalam
tentang kehidupan dan dia mendapatkan itu untuk menjadi pelindung kami
dan menuntun kami dalam taubah. Ini jugalah yang mempengaruhi sikap
suamiku dipenjara. Kesehatannya membaik. Darah tingginya tak lagi sering
naik. Dia ikhlas dan sabar , dan tentu karena dia semakin dekat kepada
Allah. Tak pernah tinggal sholat sekalipun. Zikir dan linangan airmata
sesal akan dosanya telah membuat jiwanya tentram. Mahasuci Allah